Singkatnya, meski terlahir dari kelompok eksklusif, tapi Bung Hatta adalah orang yang mau belajar, sehingga bisa berpikir kesederajatan dan inklusif.
Keterbukaan ini terlihat kala Hatta yang berasal dari Suku Minang identik sebagai kelompok religius Islam, memperjuangkan Sila Pertama Pancasila.
“Tampak sekali Hatta memikirkan kepentingan kelompok agama lain di luar Islam,” kata Arifki.
Dalam konteks kekinian, Bung Hatta sudah jauh melihat fenomena teknologi dalam pendidikan. Ibaratnya, kalau dulu pengetahuan hanya ada di koran dan buku, kemudian menyusul televisi dan radio, kini kita dapat menikmati pendidikan melalui ruang-ruang digital seperti Youtube, Tik Tok, dan lain sebagainya.
“Teknologi memberi ruang sangat besar dalam pendidikan. Bahwa setiap individu adalah medianya,” kata periset masalah-masalah politik ini.
Sebagai bukti, kata Arifki, tulisan-tulisan Hatta masih enak dibaca hingga hari ini.
“Padahal karya-karya itu ditulis tahun berapa? Ini membuktikan gagasan-gagasannya terbuka dengan teknologi,” terangnya.