Sebelumnya kita ada konfirmasi kepada panitia disana boleh tidak, painitia jawab boleh dan tidak dipungut biaya. Terus kita bikin lapak di lokasi festival dan sudah mulai jualan dan sudah separo acara, tiba-tiba ada ketua panitia penyelenggara dari desa datang mengatakan bayar lokasi lapak sebesar Rp. 7000 ribu rupiah, lanjut Itna menjelaskan.
“Sekitar sepulu menit tiba-tiba ada dua orang wanita dari dinas pariwisata datang meminta sewa lapak. Setelah itu mereka memberikan karcis. Sontak saya terkejut, kok karcis lokasinya bukan disini, selanjutnya saya menayakan kepada ibu-ibu yang buka lapak juga, namun ibu itu berkata, sudahlah bayar saja daripada ribut dan saya kasihlah sewak lapak sebesar Rp.7000 ribu rupiah, akhirnya mereka pergi,” ungkap Itna.
Menurut Itna, dirinya tersadar dan merasa aneh dan masih penasaran dengan karcis tersebut, kemudian dirinya memanggil panitia setempat untuk menanyakan karcis tersebut yang tertulis beda lokasinya. Namun panitia setempat menjawab, itu bukan tanggungjawabnya.
“Itu mereka dari sana, jawab panitia setempat. Saya masih tetap penasaran untuk menanyakan karcis tersebut dan saya cari tahu uang karcis itu kemana.?, panitia menjawab itu nanti dibagi dua, saya sambil bergumam dalam hati bagi dua bagaimana, inikan karcis di Ruang Terbuka Hijau kok bisa dibagi dua, karcis inikan bukan buat dilokasi sini,” sebut Itna.
Itna juga menjelaskan bahwa lapak disekitar dagangannya kurang lebih ada enam lapak, sedangkan didepan areanya ada banyak yang berjualan menggunakan mobil dan itu dipungut semuanya dengan karcis yang sama.
“Saya berharap hal ini tidak terjadi lagi, mereka bisa merugikan orang lain, seperti pemilik lahan rugi tidak dapat apa-apa, hanya yang didapat mereka cuma sampah dan dilokasi pemilik lahan itu ada anak pohon karet yang masih kecil ditebang untuk bikin lapak, yang rugikan pemilik lahannya, dan yang untungkan dari Dinas Pariwisatanya, sedangkan mereka memungut diluar lokasinya mereka yang punya,” tegas Itna.