Sidang Perdata Di PN Tamiang Layang yang Melibatkan Anggota Polri Masuk Dalam Keterangan Saksi

Namun Sutiyo Budi menjelaskan bahwa pihaknya tetap menghargai keputusan Pengadilan Negeri Tamiang Layang dengan menjalankan proses sidang sampai kebeneran terungkap dan ada keputusan dari pengadilan seadil-adilnya.

Sementara itu Ahmad Gazali Noor sebagai kuasa hukum Muhammad Rafi’i, bahwa pada sidang kali ini pihaknya menjelaskan sudah menambah bukti surat diteruskan dengan menghadirkan saksi dua orang untuk sidang hari ini dan setelah sidang selesai tadi akan diagendakan selanjutnya tanggal 12 ke lokasi objek pemeriksaan setempat.

Bacaan Lainnya

“Keterangan saksi-saksi di sini tadi nanti kami di kesimpulan kami sampaikan, tapi poinnya pertama ada peristiwa pelaksanaan eksekusi tanggal 21 November 2024 yang dibatalkan tidak jadi, lalu dalam perjalanannya karena tidak jadi pihak pemilik objek awal itu beranggapan cukup sampai di situ karena nggak ada berita acara pembatalan kita eksekusi nggak ada. Lalu dia karena ada hutang dengan Pemohon 150 juta dengan perjanjian 1 tahun dibayar, pas sudah sampai tempo karena tidak ada untuk membayar lalu tanggal 5 5 Februari 2025 dijual lah objek itu oleh pak Yudha,” terang Ahmad Gazali.

Menurutnya objek tersebut dijual karena dianggap tidak ada pelaksanaan sita eksekusi yang tanggal 21 dan poin yang penting dari kuasa hukum atau Yudha di amar putusan putusan itu memang mengabulkan permohonan sita oleh Termohon dengan ini Sutiyo Budi, namun di antara lain tidak ada setelah adanya putusan ini di amar itu tidak ada menyatakan bahwa objek tersebut tidak boleh dipindah tangankan.

“Saya tangkap dari saksi kami istrinya pak Yudha ada tanda untuk menawar mediasi dengan catatan mobil dikembalikan ke kami dan kami membayar putusan membayar sejumlah uang sesuai dengan putusan 70 juta sekian itu tadi di persidangan disampaikannya,” ungkap Ahmad Gazali.

Sebelumnya, sesuai keterangan Sutiyo Budi, kasus sengketa ini bermula pada 27 Oktober 2023, saat Yudha Tri Purwanto menyewa sebuah mobil Toyota Avanza berwarna putih dengan nomor polisi DA 1617 DB milik Sutiyo Budi.

Dua hari kemudian, tepatnya pada 29 Oktober sekitar pukul 01.48 WITA, Yudha mengalami kecelakaan tunggal di wilayah Muara Tapus, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU). Akibat kecelakaan tersebut, mobil yang disewa mengalami kerusakan parah dan tidak bisa digunakan lagi.

Pasca-kejadian, kedua belah pihak sempat menempuh jalan damai. Mereka menyepakati perjanjian tertulis yang disaksikan oleh warga dan Ketua RT setempat. Dalam surat tersebut, Yudha Tri Purwanto menyatakan kesediaannya untuk mengganti mobil dengan unit lain yang memiliki tahun produksi sama, yaitu tahun 2012. Untuk memenuhi kewajibannya, Yudha meminta waktu satu bulan untuk memperbaiki mobil yang rusak agar dapat dijual, dan hasilnya akan digunakan untuk membeli mobil pengganti.

Namun setelah waktu yang dijanjikan berlalu, Yudha tidak menepati kesepakatan. Ia malah berupaya mengembalikan mobil yang telah diperbaiki sebagian, padahal masih terdapat banyak kerusakan yang belum diperbaiki. Merasa dirugikan, Sutiyo Budi mengirimkan tiga kali surat somasi kepada Yudha, namun tidak mendapat tanggapan. Bahkan, Yudha menyatakan siap menghadapi jalur hukum.

Setelah upaya kekeluargaan gagal, Sutiyo akhirnya menggugat secara perdata ke Pengadilan Negeri Tamiang Layang. Pada 23 April 2024, majelis hakim mengabulkan gugatan dan menghukum Yudha Tri Purwanto untuk membayar ganti rugi sebesar Rp120.350.000 kepada Sutiyo Budi.

Yudha kemudian mengajukan keberatan. Pada 1 Mei 2024, majelis hakim mengabulkan keberatan tersebut dan menetapkan besaran ganti rugi menjadi Rp77.715.000. Namun, hingga proses aanmaning (teguran dari pengadilan) dilakukan oleh Ketua PN Tamiang Layang, Yudha masih tidak memenuhi kewajibannya. Ia hanya menyatakan sanggup membayar sebesar Rp100.000 per bulan.

Menolak tawaran tersebut, Sutiyo Budi mengajukan permohonan sita eksekusi terhadap aset milik Yudha Tri Purwanto berupa tanah dan bangunan, sebagai upaya hukum untuk menagih ganti rugi yang telah ditetapkan pengadilan.

Namun kemudian hari, sita eksekusi pada 6 Maret 2025 mendapatkan perlawanan dari Muhammad Rafi’i yang mengaku telah membeli secara sah aset milik Yudha Tri Purwanto tersebut sebelum sita eksekusi dilaksanakan. (BRP)

Pos terkait