Jalan Panjang Sengketa GRTT Antara Sumanto Sekeluarga Dan PT. United Agro Indonesia (PT. UAI)

baritorayapost.com, PALANGKA RAYA – Persoalan sengketa Ganti Rugi Tanam Tumbuh (GRTT) atas lahan Milik Sumanto Sekeluarga dengan Pihak PT. United Agro Indonesia (PT. UAI) telah berjalan cukup lama, yaitu sejak Tahun 2022 sampai saat ini dan masih belum ada penyelesaian. Menurut Sumanto yang biasa disapa Shu Shun selaku ahli waris dan pemegang kuasa untuk mengurus persoalan sengketa GRTT tersebut, sekaligus sebagai salah satu warga Desa Dadahup yang berdomisili di Kota Palangka Raya, mengatakan bahwa persoalan sengketa GRTT dengan pihak PT. UAI bermula dari adanya informasi dari Humas PT. UAI (pak Mambar) pada bulan Januari 2022 yang mengatakan bahwa lahan milik mereka sekeluarga yang berada di Desa Dadahup, persisnya di wilayah Saka Patung telah dilakukan pembebasan dengan pembayaran GRTT oleh PT. UAI, kami sekeluarga sangat terkejut, karena tidak pernah menerima GRTT tersebut walau sepeserpun ucapnya. Oleh karena itu, saya baik selaku pemilik lahan dan sekaligus sebagai pemegang Surat Kuasa dari pihak keluarga melakukan koordinasi dan komunikasi dengan pihak PT. UAI guna penyelesaian persoalan tersebut lanjutnya. Ada berbagai upaya yang telah dilakukan, baik konfirmasi, koordinasi, peringatan untuk menghentikan aktivitas perusahaan, penyampaian surat Somasi, pemasangan portal, dan mediasi pada tingkat Kecamatan, namun semua usaha tersebut hingga pertengahan tahun 2023 tidak menghasilkan penyelesaian yang berarti, tambahnya. Selanjutnya, pada bulan Oktober 2023 saya meminta bantuan pendampingan kepada beberapa Organisasi Kemasyarakatan, seperti The Dayak Alliance United, Kerukunan Dayak Ngaju Kahajan, Perkumpulan Anak Daya Bersatu dan yang terakhir Garda Antang Patahu, guna membantu menangani persoalan sengketa GRTT tersebut. Pungkasnya.

Sementara itu, di tempat terpisah Ingkit BS. Djaper, SP., SH selaku Koordinator The Dayak Alliance United mengatakan bahwa persoalan sengketa GRTT antara Sumanto sekeluarga dengan PT. UAI sudah berlangsung cukup lama dan inti dari persoalan sebenarnya sebagaimana data-data dokumen kepemilikan tanah yang dimiliki oleh Sumanto sekeluarga jika dibandingkan dengan data yang dimiliki oleh PT. UAI adalah berkaitan dengan lokasi/letak lahan yang disengketakan. Berdasarkan data lokasi yang dimiliki oleh PT. UAI bahwa lokasi yang disengketakan oleh Sumanto sekeluarga berada pada lahan yang telah memiliki Surat Segel Tanah tahun 1950, sementara berdasarkan data yang dimiliki oleh Sumanto sekeluarga, dimana lahan yang disengketakan tersebut berada di lahan kosong yang berbatasan dengan Surat Segel Tanah tahun 1950 tersebut yang digarab oleh Sumanto sekeluarga pada tahun 2003 dan telah diterbitkan SPTnya pada tahun 2003 juga, tambahnya. Disamping itu, menurut pihak PT. UAI bahwa lahan yang disengketakan oleh Sumanto sekeluarga berada di wilayah desa Tambak Bajai karena batas antara Desa Tambak Bajai dan Dadahup berada di Sungai Kumpai, sementara menurut Sumanto sekeluarga lahan tersebut berada di wilayah Desa Dadahup karena berdasarkan kesepakatan batas antara kedua desa tersebut berada di Sungai Kumpai, dimana bagian sebelah kiri sungai Kumpai adalah wilayah Desa Dadahup dan sebelah Kanan Sungai Kumpai adalah wilayah Desa Tambak Bajai, tambahnya. Persoalan sengketa GRTT tersebut mengandung unsur perdata dan pidana, unsur perdatanya berkaitan dengan keabsyahan dan kelengkapan dokumen surat kepemilikan tanah, sejarah penguasaan tanah dan lokasi keberadaan tanah, serta dasar-dasar penggarapan tanah yang diakui oleh adat istiadat dan hukum adat yang berlaku di wilayah tersebut, sedangkan unsur pidananya berkaitan dengan adanya pengrusakan lahan, penyerobotan, pengambialihan hak atas tanah, pemberian keterangan/informasi palsu, pembayaran ganti rugi tanam tumbuh atas lahan dengan surat kepemilikan tidak syah, dan upaya penggeseran batas wilayah antar desa yang melanggar kesepakatan kedua desa terkait, pungkasnya.

Bacaan Lainnya

Di tempat yang sama Andreas Djunaedi selaku Ketua Kerukunan Dayak Ngaju Kahajan, mengatakan bahwa perbuatan menggeser kesepakatan batas antara Desa Dadahup dan Desa Tambak Bajai secara sepihak untuk kepentingan tertentu sehingga menyebabkan terjadinya sengketa lahan, baik oleh salah satu pihak yang bersengketa ataupun oleh pihak ketiga lainnya merupakan sebuah pelanggaran KUHP pada pasal 385 tentang Penyerobotan lahan dan pasal 263 tentang pemalsuan. Pelanggaran tersebut penting untuk ditindaklanjuti, pungkasnya.

Kemudian, Meiji Susanto selaku Ketua Perkumpulan Anak Dayak Bersatu menambahkan bahwa jika proses mediasi ini mengalami jalan buntu, alias tidak ada kesepakatan bersama antara kedua belah pihak yang bersengketa, maka kami selaku pendamping akan menindaklanjutinya dengan menempuh jalur hukum, baik Hukum Adat maupun Hukum Negara.

Selanjutnya, di tempat terpisah Eddy Taufan, M.Pd selaku Ketua Bidang LH dan SDA DPP Garda Antang Patahu menegaskan bahwa legalitas dan kelengkapan dokumen kepemilikan tanah yang dimiliki oleh Sumanto sekeluarga sangat kuat, tinggal cek/investagasi lapangan untuk Verifikasi dan Validasi dokumen tersebut. Kompilasi antara dokumen kepemilikan tanah dan kesesuaian data lapangan milik Sumanto sekeluarga akan menentukan akhir dari sengketa ini, tambahnya. Kita dari Koalisi Ormas selaku pendamping Sumanto sekeluarga hanya membantu untuk meluruskan dan menyelesaikan persoalan sengketa agar tidak berkepanjangan, sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak, ungkapnya. Siapapun yang berani bermain-main dengan sebuah kebenaran akan menanggung sendiri akibatnya, karena setiap persoalan pasti ada akhir, pungkasnya. (Tim BRP).

Pos terkait