
Hal itu diungkapkan Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG RI, Dr Daryono, Jumat (25/9/2020) di Jakarta seperti yang disampaikan Kapoksi Stasiun Meteorologi Tunggul Wulung Cilacap, Teguh Wardoyo melalui smartphone, Minggu (27/9/2020) malam.
Daryono menekankan, perlu ada upaya serius dari berbagai pihak untuk mendukung dan memperkuat penerapan building code dalam membangun infrastruktur. Masyarakat juga diharapkan terus meningkatkan kemampuannya dalam memahami cara selamat saat terjadi gempa dan tsunami.
“BMKG dalam hal ini mengapresiasi hasil tersebut. Skenario model yang dihasilkan merupakan gambaran terburuk (worst case), dan ini dapat dijadikan acuan kita dalam upaya mitigasi guna mengurangi risiko bencana gempa dan tsunami,” ungkapnya.
Pihaknya mengakui, informasi potensi gempa kuat di zona megathrust memang rentan memicu keresahan akibat salah pengertian (misleading). “Masyarakat ternyata lebih tertarik membahas kemungkinan dampak buruknya daripada pesan mitigasi yang mestinya harus dilakukan,” katanya.
Informasi potensi gempa kuat selatan Jawa saat ini bergulir cepat, menjadi berita yang sangat menarik. Masyarakat awam pun menduga seolah dalam waktu dekat di selatan Pulau Jawa akan terjadi gempa dahsyat, padahal tidak demikian.
Meski kajian ilmiah mampu menentukan potensi magnitudo maksimum gempa megathrust dan skenario terburuk, akan tetapi hingga saat ini teknologi belum mampu memprediksi dengan tepat dan akurat kapan dan dimana gempa akan terjadi.
Ketika dalam ketidakpastian kapan terjadinya, yang perlu dilakukan adalah upaya mitigasi dengan menyiapkan langkah-langkah konkret untuk meminimalkan risiko kerugian sosial ekonomi dan korban jiwa.
Hasil kajian ini hendaknya tidak mempertajam kecemasan dan kekhawatiran masyarakat. Tetapi harus segera direspon dengan upaya mitigasi yang nyata.
“Apakah dengan meningkatkan kegiatan sosialisasi mitigasi, latihan evakuasi (drill), menata, memasang rambu evakuasi, menyiapkan tempat evakuasi sementara, membangun bangunan rumah tahan gempa, menata tata ruang pantai berbasis risiko tsunami, serta meningkatkan performa sistem peringatan dini tsunami bisa dilakukan,” terang Daryono.
Sementara, Teguh Wardoyo mengungkapkan sama bahwa tujuan utama hasil penelitian tadi adalah untuk rujukan mitigasi bencana.
“Salah satu bentuk mitigasi yaitu skema 20-20-20, yakni 20 detik merasakan gempa, 20 menit waktu untuk evakuasi, dan 20 meter ketinggian tempat untuk evakuasi,” ungkap Teguh.
Ia juga mengatakan, hampir setiap hari ada gempa cuma nggak dirasakan. Jadi nggak di-publish.
Ketika disinggung terkait informasi bahwa gempa megathrust terjadi karena adanya dorongan dari gempa-gempa kecil, Teguh menandaskan gempa kecil yang terjadi berurutan di lokasi yang hampir berdekatan, sekarang nggak ada. (est/red/BRP)