Penegakan Hukum Berdasarkan Keadilan Restoratif

Kritalina Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Pulang Pisau.


BARITORAYAPOST.COM (Palangka Raya) – Di media masa, baik cetak, on line maupun elektronik sering diberitakan tentang Jaksa sebagai sosok yang kaku dalam menerapkan hukum. Terlebih terhadap masyarakat kecil. Seperti yang kita lihat dalam kasus kakek Samirin 68 tahun asal Simalungun (Sumatera Utara) divonis 2 (dua) bulan penjara setelah terbukti mencuri getah pohon karet seberat 1,9 kilogram senilai Rp.17.000,- (tujuh belas ribu rupiah) yang dipungut di perkebunan PT. Brigstone Kecamatan Tapian Dolok Kabupaten Simalungun. Demikian disampaikan salah satu mahasiswa pascasarjana Universitas Palangka Raya, Kristalina, SH, Kamis (12/11).

Kristalina menyampaikan, dalam perkara ini pidananya sangat ringan dan sepele. Namun tidak ada alasan Penuntut Umum untuk tidak melanjutkan penyelesaian perkara dari Penyidik karena unsur-unsur dari tindak pidana tersebut terpenuhi walaupun di dalam hati nurani ada rasa iba.

Menurut Neneng, sapaan akrab wanita bernama Kristalina, bahwa untuk terciptanya rasa keadilan di masyarakat, maka Jaksa Agung melalui dikresinya mengeluarkan Peraturan Jaksa Agung nomor 15 tahun 2020 tentang penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restorative sebagai landasan Penuntut Umum untuk menghentikan penuntutan perkara yang tidak layak dipidana dapat diselesaikan di Kejaksaan dan tidak perlu dibawa ke Pengadilan.

Namun menurut Neneng, guna terciptanya kepastian hukum tidak semua perkara dapat diselesaikan melalui keadilan restoratif sehingga ada persyaratan yang harus terpenuhi seperti pelaku baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana tidak lebih dari 5 (lima) tahun, serta nilai kerugian akibat tindak pidana yang dilakukan tidak lebih dari Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). 

Keadilan restoratif tersebut kata Neneng, merupakan konsep pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku tindak pidana serta bagi korbannya karena bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan.

“Berat ringannya pidana bukan merupakan ukuran untuk menyatakan pelaku sadar atau tidak,” kata Neneng

Dia menjelaskan, pidana yang berat bukanlah jaminan untuk membuat pelaku menjadi sadar, atau mungkin juga malah  akan lebih jahat. Demikian juga, lanjutnya, pidana yang ringanpun bisa membuat orang berpikiran untuk melakukan pengulangan tindak pidana. 

“Dengan adanya keadilan restoratif maka penegakan hukum tidak selalu diselesaikan melalui proses pengadilan, ” pungkasnya. (BS/Red/BRP).


Penulis By: Kritalina Jaksa Fungsional Kejaksaan Negeri Pulang Pisau.

Pos terkait