baritorayapost.com, Palangka Raya – Di tengah euforia perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, kita dihadapkan pada ironi yang menyesakkan dada. Sementara kita merayakan kebebasan dari penjajahan asing, negeri ini masih terjebak dalam “penjajahan” dari dalam – korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang menggerogoti fondasi bangsa.
Terbaru, sebuah kasus di Barito Timur menjadi cermin betapa KKN telah berakar begitu dalam di tubuh birokrasi kita. Temuan wartawan setempat mengungkap dugaan permainan anggaran yang melibatkan media lokal. Tiga media yang keberadaannya dipertanyakan justru mendapat jatah kontrak pemasangan advertorial yang tidak proporsional dibanding media lainnya.
Fenomena ini bukan sekadar dugaan pelanggaran prosedur administratif. Ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat rakyat. Anggaran negara, yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, termasuk nutrisi informasi yang merata, justru menjadi alat bagi segelintir pejabat untuk memperkaya diri dan kelompoknya.
Ketua PW IWO Kalteng, Deni Liwan menyebutkan, dalam teori ekonomi politik, perilaku semacam ini dikenal sebagai “rent-seeking behavior”. Para pejabat memanfaatkan posisi dan kewenangannya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi tanpa memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Alih-alih menciptakan “kue” yang lebih besar untuk dibagi, mereka justru memperebutkan “kue” yang ada dengan cara-cara tidak etis.
“Lebih mengkhawatirkan lagi, penggunaan media dalam praktik KKN ini bukan tanpa tujuan. Ada dugaan kuat bahwa hal ini dilakukan untuk memperkecil potensi pemeriksaan oleh aparat penegak hukum. Dengan membungkus tindakan korupsi dalam bentuk kerjasama media yang seolah-olah sah, para pejabat korup berharap dapat mengelabui sistem pengawasan dan lolos dari jerat hukum,” tuturnya.