Para peneliti telah mengungkapkan bahwa banyak perusahaan perkebunan juga menyalahi berbagai aturan hukum lain yang mengatur perlindungan bagi warga desa serta buruh kebun. Pada 2017, sebuah kelompok advokasi di Indonesia Institute for EcoSoc Rights menghimpun berbagai aturan perundang-undangan dari tingkat nasional hingga kabupaten tentang beberapa ketentuan seputar perkebunan, antara lain jarak perkebunan dengan wilayah desa dan daerah aliran sungai, kewajiban perusahaan untuk membersihkan sungai yang tercemar, serta kewajiban perusahaan untuk memperlakukan buruh dengan layak. Kajian ini menemukan bahwa banyak perusahaan menyalahi berbagai ketentuan tersebut: mereka membuka perkebunan sampai tepat di samping perkampungan dan tepian sungai, tidak menangani pencemaran, serta tidak mengangkat buruh harian lepas menjadi buruh tetap setelah melalui masa kerja percobaan, serta beberapa pelanggaran lainnya.
Pemerintah Indonesia juga sudah meneken banyak pakta dan kovenan internasional terkait lingkungan dan hak asasi manusia. Namun, berdasarkan penelitian oleh beberapa organisasi non-pemerintahan, banyak tindakan perusahaan menyalahi berbagai pakta tersebut, selain juga aturan hukum.
Banyak perusahaan perkebunan bahkan tidak membayar pajak. Pada 2019, seorang pejabat senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa 40 persen perusahaan minyak kelapa sawit masih Bermasalah bayar pajak.Terkait ketenagakerjaan, penegakan hukumnya dalam hal ini terhambat karena lokasi perkebunan umumnya sulit dijangkau serta kurangnya jumlah pegawai inspektorat terlatih. Padahal, masih ada perlakuan mengerikan terhadap buruh kebun bak perbudakan zaman modern.
Kita pun menyaksikan bagaimana kekebalan hukum (impunitas) perusahaan turut membentuk kondisi kehidupan serta mata pencaharian jutaan warga /Masyarakat Indonesia dan juga menyebabkan kerusakan lingkungan yang tak bisa dipulihkan. Tapi mengapa perusahaan sangat jarang dituntut untuk bertanggung jawab?