Perusahaan Perkebunan Di Indonesia Kerap Berbenturan Aturan Hukum Dengan Masyarakat, Bagaimana Bisa Terjadi ?

Penulis : Dr. Yossita Wisman, M.M.Pd/Dosen S2 Ilmu Sosial Pasca sarjana Universitas Palangkaraya/Pengamat Sosial Budaya,Sekjend.Perkumpulan Intelektual Dayak Indonesia (PERINDAI) Foto: IST By BRP

Lemahnya Kekuatan Tandingan

Di kawasan perkebunan, ketidakberdayaan warga untuk mendesak penerapan aturan hukum yang melindungi mereka sebagiannya berakar pada ketiadaan tradisi perlawanan yang terorganisir, buntut panjang dari kekerasan dahsyat pada 1965–1966 yang menimpa anggota Barisan Tani Indonesia (BTI)-yang dikaitkan dengan komunis-serta Sarikat Buruh Perkebunan Republik Indonesia (Sarbupri).

Bacaan Lainnya

Selama 1950-an, BTI dan Sarbupri menjadi dua kekuatan besar yang berhasil mendorong perbaikan kondisi kaum buruh serta mendukung pendudukan lahan perkebunan yang ditelantarkan, baik untuk permukiman maupun pertanian. Keberhasilan mereka begitu substansial hingga menyebabkan turunnya keuntungan dari hasil bekas perkebunan-perkebunan kolonial yang sudah dinasionalisasi. Banyak organisasi nirlaba Indonesia maupun internasional memberikan bantuan hukum, advokasi, serta mediasi kepada warga desa dan kaum buruh. Namun, mengingat luasnya kawasan perkebunan serta kekerapan dan keparahan persoalan yang ada, kapasitas mereka jauh dari cukup. Tidak ada satu pun organisasi yang jangkauannya seluas BTI yang melaporkan keanggotaannya mencapai 8,5 juta orang sebelum akhirnya dihancurkan pada 1965.

Salah satu aksi BTI yang terpenting adalah pengerahan kaum tani untuk menduduki lahan yang seharusnya diberikan kepada mereka sesuai amanat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 untuk reforma agraria. Singkat kata, BTI mendesak agar UUPA benar-benar dilaksanakan, desakan yang menyebabkan para anggotanya membayar dengan nyawa.

Kebanyakan perkebunan kelapa sawit yang ada sekarang ini tidak punya serikat buruh independen, selain serikat bentukan perusahaan sendiri, sementara warga desa sekitar perkebunan umumnya tidak punya organisasi di tingkat desa atau partai politik yang bisa diandalkan untuk menyokong mereka guna mendesak perusahaan agar mematuhi hukum. Perusahaan biasa menggunakan berbagai siasat untuk memecah-belah warga, utamanya dengan membuat janji-janji kosong, mendekati para tokoh masyarakat serta menggaji mereka sebagai “orang perusahaan”, atau mengusik serta mengkriminalisasi warga sampai mereka menyerah melakukan perlawanan.

Protes-protes yang dilancarkan buruh dan warga bersifat sementara dan sulit bernapas panjang karena tidak ditopang sumberdaya keorganisasian. Protes-protes itu biasanya mereda setelah perusahaan membujuk para pemimpin protes dengan konsesi atau uang yang tidak seberapa. Orang-orang perusahaan menyebut praktik semacam ini sebagai ‘dipanadol,’ menggunakan analogi dengan merk dagang Panadol, yaitu obat dengan kandungan parasetamol untuk menurunkan suhu serta meredakan sakit kepala tanpa benar-benar mengatasi sumber penyakitnya.


SELAMAT ATAS DILANTIKNYA ┃ BUPATI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH & WAKIL BUPATI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH ┃ MASA JABATAN 2025 - 2030 banner 728x250

Pos terkait