Selain membayar gaji rutin kepada anggota “tim koordinasi”, perusahaan juga menyalurkan “sumbangan” kepada para pegawai instansi pemerintah daerah, termasuk dinas pertanahan, dinas ketenagakerjaan, dan dinas lingkungan hidup-instansi yang seharusnya menjalankan fungsi pengawasan. Bahkan mereka juga membayar polisi dan tentara: aparat keamanan yang selalu hadir ketika masyarakat melancarkan protes untuk memperjuangkan hak-hak mereka, kadang dengan melakukan tindak kekerasan yang berakibat fatal.
Sumbangan seperti itu biasanya tidak terselubung: kepala dinas menyurati perusahaan perkebunan dengan surat berkop resmi menjelang hari raya keagamaan, yang memerinci daftar nama pegawai yang disarankan sebagai penerima sumbangan dengan jumlah tertentu berdasarkan pangkatnya.
Transaksi semacam ini menciptakan hubungan timbal balik yang membuat pejabat pemerintahan segan untuk meminta perusahaan agar mematuhi aturan, apalagi untuk melayangkan tuntutan. Pejabat tersebut biasanya sekadar memberi nasihat atau mengingatkan, tanpa terlalu mengharapkan tanggapan.
Kebanyakan warga desa dan buruh kebun yang terdampak buruk oleh perusahaan tidak memiliki kepercayaan terhadap hukum sebagai jalur yang bisa ditempuh untuk memperbaiki keadaan. Mereka telah lama dididik dalam prinsip-prinsip yang disebut oleh ilmuan politik David Bourchier sebagai “negara kekeluargaan”. Dalam kasus ini, pemerintah adalah kepala keluarga, sedangkan warga negara adalah pihak yang dibebani kewajiban-terutama untuk patuh-tanpa kepastian akan pemenuhan hak-haknya.