Di negara kekeluargaan, memperjuangkan hak-hak yang telah ditetapkan dalam hukum menandakan ketidakpatuhan, karena dianggap mempertanyakan kebijaksanaan, kewenangan, serta kebajikan dari pihak yang bertanggung jawab. Sebaliknya, warga desa justru mencari perlindungan dari birokrat dan politisi serta berupaya melibatkan mereka sebagai pihak penengah.
Kami menelusuri beberapa konflik yang hendak diselesaikan oleh warga melalui mediasi. Namun hasil tidak banyakmembyat masyarakat happy . Sebuah kajian terkini oleh beberapa akademisi Indonesia dan Belanda menemukan pola serupa: dari 150 konflik perkebunan di empat provinsi, 73 persennya diselesaikan melalui mediasi berdasarkan mekanisme musyawarah (ad hoc), nyaris tanpa mengacu pada aturan hukum apa pun.
Kajian itu juga menemukan bahwa penyelesaian yang disepakati jarang terlaksana. Selagi persoalan mendasarnya tidak diatasi, warga desa terus menuntut hak, sedangkan perusahaan tetap menolak melaksanakan langkah-langkah penyelesaian yang tidak menguntungkan mereka.
Seperti diungkapkan oleh ahli kajian pembangunan Christian Lund, hukum bukannya tidak relevan dengan sengketa-sengketa perkebunan. Hukum penting terutama bagi warga desa yang bersemangat melancarkan aksi karena merasa yakin bahwa hukum berpihak pada mereka. Beberapa warga desa di tempat penelitian kami mempelajari berbagai aturan perundang-undangan secara saksama, untuk menemukan pasal-pasal yang memberikan perlindungan buat mereka. Tetapi mereka tidak berdaya untuk mendesak agar undang-undang tersebut benar-benar dilaksanakan, sehingga mereka hanya sebatas menerima apapun yang bisa didapat, sebagai solusi sementara.